Blackpink, Kaum Muda dan Nasionalisme
Cari Berita

Advertisement

Blackpink, Kaum Muda dan Nasionalisme

Minggu, 12 Maret 2023

Ahmad Doli Kurnia Tanjung 


INDONESIA pada Maret ini kedatangan grup K-Pop dunia asal Korea Selatan, Blackpink. Rasanya tak ada kaum Milenial maupun Gen-Z yang tidak kenal dengan grup ini. Antusiasme menampilkan Blink dengan konser kali ini, di mana tiket konser di Gelora Bung Karno, 11 Maret,sold out pada November lalu. 


Tak hanya di Indonesia, gempuran K-Pop juga melanda dunia, menjadi virus global. Sepintas tak ada yang salah jika kaum muda Indonesia mengidolakan Blackpink, BTS, atau grup musik dari negara mana pun. Mereka punya pilihan. Namun pada saat yang sama, sebagai bagian dari anak bangsa, kita harus mendorong agar generasi muda mencintai karya anak bangsa. 


Entah kebetulan atau tidak, di tengah tsunami musik Korea, tidak ada grup musik milenial lokal yang cukup menggema. Kita pernah memiliki banyak grup bandlegend, semisal Slank, Dewa-19, Noah, Gigi, Mahadewi, sampai BIP. Namun, mereka semua berasal dari generasi 1980-an sampai 2000-an awal. 


Terlepas dari itu tidak ada band ikonik yang bisa bersaing dengan penyanyi penyanyi dari luar negeri. Di sini perlu digaris bawahi bahwa kita tidak sedang membangun nasionalisme sempit atau xenopobia. Yang ingin kita dorong, perilaku anak muda untuk mengenal, memahami dan mencintai musik nasional. 


Dalam jangka panjang, dengan mencintai musik sendiri, maka kebanggaan kepada karya anak bangsa akan membuncah. Itulah salah satu aktualisasi semangat nasionalisme di era modern. 


Hubungan musik dan politik tidak terpisahkan, begitu sejarah menulis. Setidaknya itu terlihat dari karya-karya Ismail Marzuki yang menyentuh rasa nasionalisme kita. Lagu Gugur Bunga, Rayuan Pulau Kelapa, Juwita Malam, Indonesia Pusaka, dan masih banyak lagi, seolah menegaskan bahwa musik bisa menjadi media propaganda untuk membangun apa yang disebut Bennedic Anderson sebagai Imaginer Community. Suatu kondisi yang membuat kita berada di Aceh sampai Papua—yang jaraknya sama dengan Istambul ke London, belasan negara di Eropa—namun seolah sangat dekat dengan sesama anak Indonesia. 


Tentu saja kita tidak memaksa anak-anak muda meng-copy apa yang dilakukan Taufik Ismail. Tantangan setiap zaman tentu berbeda. Namun ada satu yang (selalu) sama, benang merahnya, bahwa lagu dan musik bisa menginspirasi dan meningkatkan rasa kebangsaan, kapan pun. 


Propaganda 


Sebagaimana ditulis oleh Sastropoetro (1983) bahwa musik atau lagu-lagu perjuangan digunakan sebagai alat komunikasi massa untuk melawan propaganda musuh. Saat revolusi kemerdekaan, Jepang melancarkan propaganda melalui lagu-lagu patriotik yang mendukung kebijakan kolonialisme mereka di Asia. 


Setelah janji-janji Jepang tak terpenuhi, para seniman tanah air melawan dengan memproduksi lagu-lagu patriotik, yang kita kenal dan kenal sampai sekarang. Saking pentingnya peran para seniman dalam propaganda dan perjuangan kemerdekaan, Soedarsono dalam bukunya “Seni Pertunjukan di Era Globalisasi”, 1998, menyebut mereka sebagai seni partisipasi. Atau seni melibatkan diri dalam perjuangan. 


Lalu bagaimana cara mentransfer semangat musik perjuangan tersebut di era kini yang tentu saja dengan tantangan berbeda? 


Pertama, stakeholder industri musik harus memikirkan bagaimana caranya membuat musik lokal, musisi dalam negeri menjadi tuan di negeri ini. Tak bisa kita berhenti dan meratapi nasib. 


Pemerintah harus membantu, namun leading sector dalam kegiatan kreatif menjadi domain para musisi dan industri musik. Meski kita bangga dengan dominasi K-Pop di dunia, namun kita juga perlu belajar dari mereka. Khususnya terkait metode pembuatan ikon musik populer di era modern melalui cara yang benar, bertahap, bukan sim-salabim. 


Dari pengamatan penulis beberapa kali ke negeri Gingseng tersebut, tempaan untuk para artis dan musisi di sana sangat ketat, bahkan bisa dikatakan mendekati semi-militer. Tidak ada musisi atau penyanyi yang ujug-ujug tampil dan terkenal. Semua berjuang dari bawah dengan kompetisi ketat, dengan produk akhirnya menghasilkan karya-karya besar. Tak heran K-Pop bahkan bisa merajai hingga ke Eropa dan AS, negara yang puluhan tahun menjadi kiblat musik dunia. 


Kedua, setelah ikon musik dipulihkan kembali, kita bisa memanfaatkan previledge tersebut lalu mengisinya dengan pesan-pesan Pancasila, Kebhinekaan, Religiusitas, dan Kebangsaan, melalui pendekatan kekinian. Cara dan metode dalam konteks ini penting, karena kita harus beradaptasi dengan perkembangan dan perubahan. 


Nilai-nilai Pancasila tidak mungkin “didakwahkan” dengan metode jadul ala Penataran P-4, karena memang zamannya sudah berubah. Penulis awalnya tidak percaya Pancasila bisa disampaikan dengan cara yang ringan. Selama ini stereotip ideologi negara cenderung dipahami sebagai sesuatu yang formal, bahkan mistik. 


Padahal dunia sudah bergerak jauh, seperti Hollywood, Bollywood, K-Pop dan Drakor yang menjual nasionalisme dengan sentuhan baru. Sentuhan nge-pop, rock and rool, bahkan jumping. 


Kaum Muda Adalah Masa Depan 


Ketiga, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan lembaga terkait harus menyebutkan proses ini agar lebih cepat mengembang. Dalam konteks ini, pengalaman penulis bersama BPIP, kami mencoba mengubah cara pandang budaya menggunakan kaca mata yang lebih lebar. Budaya bangsa adiluhur tidak melulu dimaknai budaya klasik dan tradisional, melainkan juga menyentuh budaya pop yang dekat dengan anak muda. 


Kita bahkan memodifikasi “harta karun kearifan lokal”, baik wayang, produk buaya, pertunjukan, lagu maupun musik dengan sentuhan baru yang berhubungan dengan anak muda. Mengapa kaum muda di tulisan ini selalu diulang untuk kita mention? Tak lain karena merekalah masa depan negeri ini. 


Kekuatan musik dalam mengubah kondisi di masyarakat (social change) juga diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga musik digunakan sebagai media percepatan 17 tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Natalia Kanem, Direktur Eksekutif United Nations Population Fund, bahwa, “Musik adalah media yang luar biasa untuk meningkatkan kesadaran tentang pencarian kolektif kita untuk perdamaian, keadilan, kesetaraan, dan martabat – cita-cita luhur Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini adalah bahasa pemersatu yang kuat yang dapat membantu membangun jembatan dan memajukan keadilan sosial dalam segala bentuknya”. 


Musik adalah media yang luar biasa untuk meningkatkan kesadaran tentang pencarian memori kita akan perdamaian, keadilan, kesetaraan, dan martabat. Di mana itu semua adalah tujuan yang ingin dicapai oleh PBB. Musik juga merupakan bahasa pemersatu yang kuat, yang dapat membantu membangun jembatan dan memajukan keadilan sosial dalam segala bentuknya.


 "Kamu bisa bilang aku pemimpi…. But I'm not the only one……... I hope someday you'll join us…….. And the world will live as one”, demikianlah lirik penutup di lagu Imagine yang dinyanyikan John Lennon. 


Melalui musik, kita bisa membangun kesadaran baru, perilaku baru, masyarakat baru, dan akhirnya peradaban baru. Selamat Hari Musik!


Penulis adalah Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat RI.