Iuran BPJS Kesehatan Bikin Sekarat
Cari Berita

Advertisement

Iuran BPJS Kesehatan Bikin Sekarat

Jumat, 30 Agustus 2019


PARASRIAU.COM - Pemerintah kewalahan. Defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan terus melebar. Jalan pintas pun ditempuh, tak peduli walau bakal terjal. Menaikkan iuran BPJS Kesehatan akhirnya menjadi cara yang dianggap bisa menutup semua kerugian selama ini.

Kenaikannya pun tak tanggung-tanggung, hingga dua kali lipat. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, menyatakan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan berlaku efektif pada 1 September 2019. Kenaikan iuran itu nantinya akan dikukuhkan dalam bentuk Peraturan Presiden.

Tak heran bila keputusan ini langsung mengundang kritik berbagai pihak. Salah satunya dari mantan Sekretaris BUMN, Said Didu. Menurut dia, kenaikan iuran malah mencoreng citra Presiden Joko Widodo.

Dia menyebut BPJS Kesehatan merupakan salah satu janji Jokowi saat kampanye Pilpres 2019. Said pun seolah menyindir kepada pihak tertentu agar menikmati kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini.

"Selamat menikmati. Awas kalau protes, nanti dituduh kufur nikmat," ujar Said seperti dikutip dari akun Twitter @msaid_didu.

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi ikut mengkritik langkah pemerintah itu. Dia menyebut jika dilihat dengan besaran iuran yang berlaku sekarang ini, memang masih jauh di bawah biaya pokok layanan kesehatan.

"Namun pertanyaannya, apakah kenaikan itu harus dibebankan ke konsumen, ataukah ada potensi skema lain untuk menekan tingginya defisit finansial BPJSKes. Artinya, tidak serta merta kenaikan iuran itu menjadi solusi tunggal untuk dibebankan ke konsumen," kata Tulus melalui keterangan tertulis, Kamis, 29 Agustus 2019.

Menurut dia, pemerintah bisa saja melakukan relokasi subsidi energi atau menaikkan cukai rokok. Sebagian dari subsidi energi yang masih mencapai Rp157 triliun itu bisa saja direlokasi menjadi subsidi BPJS Kesehatan. 

"Selain itu pemerintah bisa menambah suntikan subsidi di BPJS Kesehatan, sebab kalau untuk subsidi energi saja pemerintah mau menambah, kenapa untuk subsidi BPJSKes tidak mau? Padahal tanggung jawab keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional adalah tanggung jawab pemerintah," ucap dia.

Namun, jika pemerintah tetap ngotot akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan, YLKI mendesak pemerintah dan manajemen melakukan reformasi total terhadap pengelolaan BPJS Kesehatan. Seperti, menghilangkan kelas layanan BPJS, selaras dengan spirit asuransi sosial yakni gotong royong. 

Terkait usulan besaran kenaikan tarif, YLKI memberikan toleransi dengan formulasi besaran kenaikan, yakni untuk kategori peserta PBI kenaikannya pada kisaran Rp30.000-40.000. Sementara itu, untuk peserta non PBI, usulan tarif rata-rata Rp60.000. 

Salah satu warga Jakarta, Vera (46) menolak keras kenaikkan iuran BPJS Kesehatan. Dia menyebut kenaikkan dua kali lipat ini sangat membebani. "Enggak setuju lah. Jadi mencekik. Budget yang tadinya bayar untuk berdua jadi satu orang," kata Vera.

Menurut dia, pelayanan BPJS juga belum baik sehingga tidak pas untuk memutuskan penaikkan.

"Banyak hal yang harus diperbaiki seperti ada perbedaan antara pasien BPJS dengan yang bayar mandiri dalam hal pendaftaran, jadwal dokter yang harus reservasi jauh-jauh hari. Apalagi sekarang obat yang saya terima kebanyakan generik yang harganya murah, beda dengan awal-awal. Obat sudah jadi generik terus iuran mau dinaikkan? di mana cara pikirnya. Harapannya ya sekarang diperbaiki aja dulu sistemnnya, enggak muluk-muluk. Dan yang utama harus ramah juga ke pasien BPJS. Jangan seenaknya mentang-mentang ditanggung pemerintah, toh kita juga bayar iuran," ucap dia.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan mengeluarkan payung hukum terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Payung hukum ini berupa Peraturan Presiden atau Perpres yang akan ditandatangani Joko Widodo. "Segera akan keluar Perpresnya. Itungannya seperti yang disampaikan ibu menteri pada saat di DPR itu," kata Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo di DPR, Rabu 28 Agustus 2019.

Menurut Mardiasmo, kenaikan iuran ini akan didukung dengan perbaikan sistem Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN), sehingga keuangan BPJS Kesehatan lebih berkelanjutan. Selain itu, jika mengacu kepada undang-undang, sudah semestinya iuran BPJS Kesehatan dilakukan penyesuaian setiap dua tahun.

"BPJS akan memperbaiki semuanya, baik sisi purchasing-nya, semuanya-semuanya itu. Tapi dengan policy makes yang ada, dengan rekomendasi BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dengan kolaborasi semuanya, masih ada defisit. Karena itu, harus ditutup, karena ada UU bahwa setiap dua tahun harus dievaluasi," ujarnya.***

dilansir: vivanews.com