JAKARTA, PARASRIAU.COM - Tidak lama setelah resmi berdiri, Forum Pemred Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) langsung menggelar acara diskusi perdana di Hall Dewan Pers, Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Diskusi bertajuk “Upaya Mengatasi Problematika Kemacetan Lalu Lintas, Dampak Kemacetan dari Sisi Ekonomi”, dipilih karena kemacetan adalah masalah sehari-hari yang dirasakan masyarakat luas terutama di perkotaan.
Diskusi berlangsung dengan kehadiran sejumlah narasumber terkemuka dari berbagai institusi. Mereka adalah Direktur Keamanan dan Keselamatan Korlantas Polri Brigjen Pol Bakharuddin Muhammad Syah; Ketua Tim Kelompok Substansi Rekayasa Lalu Lintas Ditjen Perhubungan Darat, Ahmad Ardiansyah; Senior General Manager Jasamarga Metropolitan Regional, Widiyatmiko Nursejati; dan Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW), Edison Siahaan.
Ketua Forum Pemred SMSI, Dar Edi Yoga, dalam pidato pembukaan menekankan pentingnya peran media siber sebagai pilar keempat demokrasi dalam mendukung upaya pencarian solusi atas masalah kemacetan lalu lintas.
“Tema ini sangat relevan, mengingat kemacetan lalu lintas adalah tantangan besar yang kita hadapi, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Kemacetan tidak hanya berdampak pada waktu dan kenyamanan, tetapi juga menjadi salah satu penghambat utama pertumbuhan ekonomi,” ujar Dar Edi Yoga.
Ia menyoroti berbagai dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh kemacetan, mulai dari hilangnya produktivitas tenaga kerja, kenaikan biaya logistik, penurunan daya saing investasi, hingga kerusakan lingkungan yang meningkatkan biaya kesehatan masyarakat.
Dalam sambutannya, Dar Edi Yoga juga menekankan pentingnya sinergi antara berbagai pihak, seperti pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat, dalam mencari solusi yang terintegrasi dan berkelanjutan. Belajar dari negara-negara lain, ia menyoroti penerapan teknologi, peningkatan transportasi publik, serta kebijakan desentralisasi ekonomi sebagai langkah-langkah inovatif yang dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia.
“Media siber memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi penghubung antara masyarakat dan pemangku kebijakan. Dengan liputan yang berimbang, pemberitaan berbasis data, serta kampanye publik yang edukatif, media dapat membantu menciptakan kesadaran dan dukungan luas terhadap kebijakan yang bertujuan mengatasi kemacetan,” ungkap dia.
Sementara itu, Dirkamsel Korlantas Polri, Brigjen Pol Bakharuddin Muhammad Syah, menjelaskan lebih jauh soal Keamanan, Keselamatan, Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas (Kamseltibcarlantas) dalam diskusi kali ini.
Menurutnya, Kamseltibcarlantas merupakan situasi dan kondisi penggunaan lalu lintas yang merasa baik dengan atau tanpa kendaraan, merasa aman karena terbebas dari rasa ketakutan, serta tidak adanya ancaman hambatan atau gangguan kapan saja dan di mana saja.
Dengan demikian, pengguna lalu lintas terjamin keselamatannya dan terhindar dari segala marabahaya. Dasar dalam memelihara dan mewujudkan Kamseltibcarlantas pun tertuang dalam UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 93 tentang manajemen dan rekayasa lalu lintas.
“Manajemen dan rekayasa lalu lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan pengguna jaringan jalan dan gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan, Ketertiban dan Kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan,” jelas Bakharuddin.
Ia pun menyoroti sejumlah kemacetan arus lalu lintas yang bisa terjadi di mana saja. Unsur utama kemacetan terjadi karena disebabkan adanya perlambatan, sehingga para pengguna jalan mau tidak mau harus mengurangi kecepatan hingga berhenti.
Perlambatan yang berdampak dengan kemacetan pun antara lain disebabkan oleh faktor manusia, faktor jalan, faktor kendaraan, faktor alam atau lingkungan, kerusakan infrastruktur dan sistem-sistem yang tidak memadai, ketidak profesionalan sistem tata kelola atau cara-cara mengatur sesuatu yang masih manual parsial konvensional serta situasi emergensi dan kontijensi.
Meski begitu, terdapat tindakan yang bisa dilakukan untuk mengatasi kemacetan, yang diantaranya membentuk tim terpadu bersama para pemangku kepentingan, membangun dan mengimplementasikan aplikasi-aplikasi dan network melalui back office sebagai control room, membangun call and command centre, membuat pola situasi tingkat kepadatan arus lalu lintas berdasar waktu dan hari, serta membuat indikator standar kinerja atau KPI (Key Performance Indicator).
“Kemudian melakukan diskusi dan membuat kesepakatan bersama dengan pengusaha angkutan umum, baik barang atau logistik maupun orang untuk menentukan pola atur waktu operasional, memetakan simpul-simpul penyebab kemacetan yang menyumbat secara real time, membuat tim reaksi cepat, membangun pos-pos pemantauan dan quick response, serta penegakan hukum atas pelanggaran yang menjadi faktor-faktor penyebab perlambatan,” jelasnya.
Ketua Tim Kelompok Substansi Rekayasa Lalu Lintas Ditjen Perhubungan Darat, Ahmad Andriansyah, menjelaskan mengenai hubungan kemacetan dengan urbanisasi. Dia menyoroti bahwa urbanisasi berdampak pada kemacetan lalu lintas dan berdampak negatif terhadap produktivitas perkotaan.
“Pada 2045, 230 juta penduduk
Indonesia akan tinggal di perkotaan. Berbeda jauh dengan 2015 di mana 135 juta penduduk yang tinggal di perkotaan,” tukasnya.
Akibatnya, menurut data dari TomTom Traffic Congestion Index, Jakarta menjadi kota dengan kemacetan tertinggi di antara 18 kota besar di seluruh dunia, lebih dari kota-kota seperti Bangkok, Thailand, Mexico City, Meksiko, serta Lima, Peru.
“Total biaya kemacetan lalu lintas pada 28 wilayah di Indonesia mencapai angka US$4 miliar atau setara dengan 0,5 persen PDB nasional per tahun. Sementara itu untuk wilayah Jakarta, kerugiannya sebesar US$2,6 miliar,” terangnya.
Mengatasi kemacetan bisa dilakukan dua strategi, yakni push strategy mendorong masyarakat berkontribusi dalam penurunan kemacetan dengan mematuhi kebijakan yang ada. Serta pull strategy, untuk menarik masyarakat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih menggunakan kendaraan umum.
“Push strategy, manajemen ruang dan waktu akses kendaraan pribadi dan pull strategy penyediaan fasilitas angkutan perkotaan,” tuturnya.
Sementara itu, Senior General Manager Jasa Marga Metropolitan Regional, Widiyatmiko Nursejati, menjelaskan bahwa kepadatan juga melanda ruas tol.
Terlepas hal itu, Jasa Marga telah memiliki 36 konsesi jalan tol yang mencakup 1.736 km dan mengoperasikan 1.264 km jalan tol. Bisnis jalan tol Jasa Marga ini pun tersebar di seluruh Indonesia, di mana sebagian besar jalan tol sudah terhubung, menciptakan dampak positif pada konektivitas. Sebagian besar jalan tol tersebut pun terletak di Pulau Jawa.
Hal ini sesuai dengan volume lalu lintas harian terbesar yang juga terletak di wilayah Jabotabek dengan angka 2,50 juta kendaraan per hari atau 71 persen dari total lalu lintas harian di wilayah Jasa Marga Group. Tol yang paling padat pun terletak di Tol Dalam Kota dengan 543.535 kendaraan per hari.
“Ruas Dalam Kota memiliki total LHR tertinggi dengan 543 ribu kendaraan/hari, ruas Japek 448 ribu kendaraan/hari, dan Jagorawi 420 ribu kendaraan/hari,” jelas dia.
Upaya penanganan kepadatan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya peningkatan kapasitas, optimasi teknologi, integrasi jaringan jalan tol dan antar moda, serta koordinasi lintas sektoral.
Berbeda pula, Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW), Edison Siahaan, menekankan bahwa lalu lintas merupakan urat nadi kehidupan. Berdasarkan UU No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, tertulis bahwa lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum.
"Dalam kerangka ekonomi makro, lalu lintas dan angkutan jalan menjadi tulang punggung perekonomian baik di tingkat nasional, regional maupun lokal. Tidak hanya itu, lalu lintas juga disebut sebagai budaya dan potret modernitas serta urat nadi kehidupan sebuah bangsa,” ungkap dia.
Dia pun menyoroti lalu lintas dan angkutan jalan, khususnya di sejumlah kota besar di Indonesia yang acapkali dilanda kesemrawutan, kemacetan dan kecelakaan. Tak dapat dipungkiri beragam masalah lalu lintas menjadi momok bagi masyarakat pengguna jalan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung.
Edison menjelaskan, kemacetan atau kesemrawutan ini memiliki beragam penyebab, diantaranya jumlah atau populasi kendaraan bermotor yang tidak terkendali, masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap ketertiban dan keselamatan sehingga tanpa merasa salah melakukan pelanggaran, kurang maksimalnya penegakan hukum yang bisa memberikan efek jera bagi pelanggar, serta faktor kondisi jalan yang kerap memicu kemacetan seperti penggalian yang waktunya cukup lama dan minus koordinasi dengan stakeholder lainnya.
Yang bisa dilakukan untuk mengatasi penyebab kemacetan tersebut pun beragam pula, yakni melakukan pembatasan ruang gerak kendaraan dengan berbagai kebijakan seperti ganjil genap, contraflow, 3:1 dan rekayasa-rekayasa lalu lintas. Kemudian secara rutin menggelar tiga operasi setiap tahunnya yaitu Operasi Zebra, Simpatik dan Patuh.
“Ironisnya, ada rasa kebanggaan saat mengumumkan hasil operasi yang jumlah pelanggarnya terus meningkat. Padahal, semestinya ada evaluasi, mengapa kegiatan yang dilakukan secara rutin tetapi tidak atau kurang memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan kesadaran tertib lalu lintas masyarakat,” ungkap dia.
Acara diskusi ini didukung oleh BRI Insurance, Jasamarga Indonesia Highway Corp, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kementerian Perhubungan , PT Kalbe Farma, Entrasol dan Condro Kirono serta Hopeland Camp. (*/pr2)