Al-Azhar, Grand Syeikh dan Koeksistensi Umat Beragama
Cari Berita

Advertisement

Al-Azhar, Grand Syeikh dan Koeksistensi Umat Beragama

Sabtu, 06 Juli 2024


UNIVERSITAS Al-Azhar merupakan salah satu perguruan tinggi terkemuka dan tertua di dunia. 


Universitas Al-Azhar berdiri pada 7 Ramadan 361 H, bertepatan dengan 22 Juni tahun 972 M, kini telah memasuki ke-1052 tahun, atau berusia 1084 tahun jika dihitung dari kalender Hijriyah. 


Sebelumnya universitas Zaitunah di Tunisia menjadi pemegang rekor universitas tertua di dunia yang berdiri tahun 737 M disusul universitas Al-Qarawiyyin di Maroko yang berdiri tahun 859 M. 


Ketiga universitas di dunia Arab ini lebih senior dari university of Oxford di Inggris yang berdiri tahun 1096 M, Stanford University berdiri tahun 1885 M, dan Cambridge university tahun 1534 M. 


Universitas Al-Azhar didirikan   oleh  Dinasti  Fatimiyah   (penganut Syiah  Ismailiyah) dipandang sebagai kiblat ilmu dan referensi utama wacana keislaman  global. 


Di Universitas Al Azhar, tidak hanya ilmu agama Islam yang diajarkan melainkan berbagai ilmu lainnya, seperti Filosofy, Science and Technology, Management and Business Administration, Arts, Languages and Humanities, Agriculture, Dentistry and Medicine. 


Universitas ini memiliki 81 fakultas, 9 institut, 359 jurusan, 42 pusat studi, 6 rumah sakit akademik, dan 27 unit administrasi. Ia juga menjadi pusat studi utama pada ilmu literatur arab dan ilmu keislaman dunia.


Perpustakaannya menjadi yang terpenting karena memuat berbagai buku yang diterbitkan ratusan tahun lalu. Pada setiap tahunnya Universitas Al-Azhar menerima sekitar 30.000 mahasiswa  asing  yang datang dari berbagai negara. 


Dilihat dari jumlah mahasiswa full-time yang  berdasarkan survai Times Higher Education tahun 2022 dari 1799 universitas di 104 negara di dunia jumlah mahasiswa  Al-Azhar berjumlah 425.977 mahasiwa sebagai kampus dengan jumlah mahasiswa terbanyak ketiga setelah Tribhuvan University di Nepal dengan 460.632 mahasiwa dan Payame Noor University di Iran yang menampung 454.155 mahasiswa. 


Salah satu kontribusi penting universitas Al-Azhar adalah perspektif moderatisme (wasatiyah) yang diusung, dimana Al-Azhar   tidak menyeleksi calon mahasiswa berdasarkan latar belakang paham keagamaan tertentu. 


Semua bisa diterima secara terbuka, selama memenuhi  persyaratan akademik, seperti kemampuan bahasa Arab dan hafalan  Al-Quran. Mahasiswa dari berbagai mazhab dan aliran keagamaan, seperti Sunni, Syiah, Ikhwanul Muslimin, Salafi, dan lain-lain. Pun keragaman dalam identitas agama, cara berpikir, berperilaku  dan cara berpakaian yang berbeda. 


Data dari koran al-Wathan pada 5 Mei 1916 menyebutkan, Universitas Al-Azhar menerima mahasiswa dari Kristen Koptik, yang merupakan entitas Kristen tertua di Timur Tengah. Para pelajar Kristen Koptik tersebut bahkan memiliki pojok komunitas tersendiri yang difasilitasi al-Azhar yang disebut Ruwaq al-Aqbath. 


Beberapa nama alumni Al-Azhar dari penganut Kristen dan tokoh penting antara lain Al-As’ad bin Mamat, yang menjabat Menteri pada era Shalahuddin Al-Ayubi, Jundi Ibrahim Syahatah, pemilik Media Al-Wathan, dan Makram Abid, tokoh Kristen Koptik yang berteman dekat dengan Hassan Al-Banna.


Konstruksi pemikiran moderatisme Al-Azhar mendapat momentumnya melalui sentuhan pemikiran Syeikh Ahmad at-Thayib. Syeikh Agung Al-Azhar As-Syarif ke-44 ini menggantikan pendahulunya, yaitu Syeikh Muhammad Sayyid al-Thanthawi. Lahir di Qena, Mesir bagian selatan pada 6 Januari 1946, dengan nasab bersambung kepada Rasulullah melalui Imam Hasan bin Ali Abi Thalib. 


Grand Syaikh At-Thayib dikenal sebagai penganut Asy’ariyah dalam mazhab aqidah, Maliki dalam mazhab fiqih, dan Khalwati sebagai tarekat sufinya. Pengaruh ilmiahnya sebagai intelektual terkemuka Sunni Islam mencakup seluruh dunia sebagai ulama moderat yang selalu menyerukan ukhuwah (pesatuan), insâniyah (kemanusiaan), dan tegas mengkritik Zionisme. 


Beberapa keutamaan Syekh At-Thayeb, antara lain memperoleh penghargaan dari Sheikh Zayed Book Award tahun 2013 kategori “Cultural Personality of the Year”. 


Sheikh Zayed Book Award adalah salah satu hadiah paling bergengsi di dunia Arab. Kemudian informasi yang dikutip dari “The Muslim 500: The World’s Most Influential Muslims”, Syeikh At-Thayyib dinobatkan sebagai tokoh Muslim pertama yang paling berpengaruh di tahun 2017/2018. Ia juga dikenal sebagai advokat Muslim tradisonal, pemimpin Universitas al-Azhar, serta pengelola jaringan al-Azhar. 


Selain piawai dalam berdakwah, Syeikh At-Thayyib menulis beberapa buku penting, antara lain  Al-Jânib An-Naqdi fi Al-Falsafah Abi Al-Barakat Al-Baghdadi (1981), Mabâhits Al-Wujûd wa Al-Mâhiyah min Kitab Al-Mawâqif (1982), Mafhûm Al-Harakah bayna Al-Falsafah Al-Islâmiyah wa Al-Markisiyah (1982), Mabahits Al-‘Illah wa Al-Ma’lul min Kitab Al-Mawaqif (1982), Madkhal li Dirâsati Al-Manthiq Al-Qadim (1987), riset bidang Filsafat Islam bersama para peneliti lain di Universitas Qatar pada tahun 1993, serta komentar terhadap Bab Ketuhanan dari buku Tahdzib Al-Kalam karya Imam Taftazani (1997). 


Dari data buku yang ditulisnya, Syeikh At-Thayeb merupapam pakar bidang keilmuan filsafat Islam, sehingga kepakaran inilah yang mengantarkannya sebagai sosok ulama terbuka, moderat dan inklusif. 


Ketokohan Syaikh At-Thayib telah menyita perhatian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Organisasi tertinggi di dunia ini menetapkan tahun 2019 ini sebagai The International Year of Moderation. 


Penetapan tahun moderasi beragama internasional tersebut didasarkan kepada keberhasilan Syeikh At-Thayib membuat kesepahaman dengan Paus Fransiskus yang tertuang dalam “Watsîqah al-Ikhwah al-Insaniyah min Ajli as-Salaam al-‘Alamî wa al-‘Aisy al-Mustarok.” 


Momentum bersejarah ini dipandang sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia berbasis agama. Pada sisi ini keterlibatan Syeikh At-Thayib dipandang sebagai tokoh sentral dan lokomotif moderasi beragama di dunia. Pada bagian awal dokumen naskah perjanjian tersebut tertulis kutipan berikut: 


“Dengan nama Allah yang telah menciptakan seluruh manusia memiliki kesamaan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta kemuliaan-kemuliaan, dan mengajak mereka untuk hidup bersaudara dalam rangka memakmurkan bumi, menebarkan dan menegakkan kebaikan-kebaikan, kedamaian dan cinta.” Dokumen ini merupakan refresentasi pemikiran Syaikh At-Thayib tentang persaudaraan universal dan inklusivisme dalam beragama.


Konsep persaudaraan dan inklusivisme beragama yang digagas Syeikh At-Thayib kemudian tersebar ke berbagai negara di dunia, antara lain Indonesia, Malaysia, Brune Darussalam dan beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika melalui penetrasi keilmuan yang dikembangkan para alumni universitas al-Azhar. 


Di Indonesia, misalnya, penetrasi konsep wasathiyah al-ukhuwah al-insaniyah (moderasi, persaudaraan dan kemanusiaan) dilakukan oleh para alumni al-Azhar yang tergabung dalam Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA). Para pengurus OIAA, seperti Zainul Majdi dan Muchlis Hanafi berperan penting dalam penyebaran ide tersebut hingga menyentuh wilayah elit kementerian agama, terutama melauli figur Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin. 


Di tangan Menteri Agama konsep moderasi beragama yang bercita rasa persaudaraan dan kemanusiaan ini berubah menjadi kebijakan moderasi beragama secara nasional yang melibatkan institusi Perguruan Iinggi Keagamaan Islam (PTKI) dan berbagai institusi kenegaraan lainnya. ***


Penulis adalah Guru Besar Pemikiran Islam UIN Syech Djamil Djambek Bukittinggi. 


 UIN Bukittinggi