ROKANHILIR, PARASRIAU.COM - Setelah sempat beberapa bulan berhenti, aktivitas kegiatan penambangan Galian C atau tanah urug yang berada di wilayah Gang Janda, Desa Bangko Bakti, Kecamatan Bangko Pusako, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) Riau, kembali melakukan kegiatan penambangan yang diduga kuat tidak memiliki atau mengantongi izin dari pemerintah.
Pantauan beberapa awak media di sekitar lokasi penambangan pada hari Kamis,(30/05/2024) sekira pukul 13.00 WIB, kemarin terlihat kegiatan beberapa alat berat Exscavator menggali tanah dan puluhan armada Dump Truk tronton milik PT.Hutama Karya Infrastruktur (HKI) dan PT.Konsorsium Manora Rusindo (KMR), terlihat beroperasi hilir mudik mengangkut tanah urug dari lokasi penggalian yang diangkut ke beberapa lokasi penimbunan di wilayah Desa Bangko Bakti, Kecamatan Bangko Pusako, Kabupaten Rokan Hilir.
Miris..! Terlihat kondisi lahan lebih kurang puluhan hektar bekas galian yang dulunya diketahui kawasan perkebunan sawit warga dengan kondisi tanah berbukit, berubah menjadi kondisi hamparan lahan rendah akibat penambangan galian tanah yang diperuntukkan untuk penimbunan proyek di Pertamina Hulu Rokan di Wilayah Kerja (WK) Blok Rokan.
Informasi yang berhasil dirangkum dari masyarakat salah seorang warga Bangko Bakti, Icap menuturkan, lokasi lahan penambangan itu adalah tanah milik beberapa warga yang diganti rugi atau dibayar oleh pihak PT. PHR melalui PT HKI atau PT.KMR dengan System Work Unit Rate (WUR) atau setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh perusahaan PT.HKI dan PT.KMR dibayar oleh pihak PT PHR.
"Beberapa bulan sebelumnya, kegiatan penambangan galian C ini sempat berhenti, diduga karena ramainya pemberitaan kegiatan galian C tanpa izin di beberapa media dan adanya konflik dengan warga sekitar karena debu tanah berserakan saat musim kemarau. Dan saat kondisi hujan, armada dump truk pengangkut tanah berjatuhan ke jalan raya lintas Riau Sumut, hingga membuat kondisi jalan saat itu licin yang dapat membahayakan pengguna jalan yang sedang melintasi jalan tersebut," beber Icap.
Terpisah, Kepala Desa Bangko Bakti, Rudi Hartono saat dikonfirmasi awak media menjelaskan bahwa dirinya sebagai Kepala Desa Bangko Bakti tidak mengetahui apakah lokasi lahan tambang galian C itu adalah lahan warga atau tidak. Rudi Hartono tidak mengetahuinya, demikian juga terkait izin tambang dirinya juga tidak mengetahuinya.
"Selama ini pihak perusahaan tidak ada konfirmasi kepada pihak aparat desa atau Kepenghuluan. Mereka hanya melaporkan ada warga Bangko Bakti yang bekerja di HKI. Terkait izin galian C, kami tidak tahu dan tidak ada diberi tahu," kata Datuk Penghulu.
Terpisah, Humas HKI, Marbun saat dikomfirmasi terkait galian C mengakatan, agar ditanyakan langsung saja ke PHR. "Tidak sampai ke situ urusan saya ketua. Tanyakan langsung ke pihak PHR," kata Marbun singkat.
Diketahui bahwa PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) merupakan salah satu anak perusahaan Pertamina yang bergerak di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi di bawah Subholding Upstream, PT Pertamina Hulu Energi (PHE). PHR berdiri sejak 20 Desember 2018.
Selain memproduksi minyak dan gas bagi negara, PHR mengelola program tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan fokus di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi masyarakat dan lingkungan.
Namun sayang, belakangan ini PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) diduga ikut-ikutan bersama supliernya melakukan kejahatan pidana lingkungan hidup karena menampung dan memanfaatkan barang dari pengelola Galian C tanpa izin. Pemerintah seharusnya memberikan contoh yang baik bagi masyarakat.
Sejumlah aktivis lingkungan hidup mempertanyakan langkah operasional PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang menampung material tanah urug dari suplier (perusahaan penyuplai, red) yang tidak mengantongi izin atau diduga beraktifitas secara ilegal.
"Ini jelas melanggar Undang-undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang perubahan atas undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal 158 UU tersebut, disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000.000," papar Daniel Pratama, SH, MH, selaku Ketua Yayasan Lingkungan Hidup Revendra, Jumat (31/5/2024).
Lebih lanjut dijelaskannya, sanksi tersebut termasuk bagi setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, namun melakukan kegiatan operasi produksi. Mereka bisa dipidana dengan pidana penjara sebagaimana diatur dalam pasal 160 Minerba.
”Di pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara,” itu kata Undang-undang.
”Aparat penegak hukum (APH) seperti Polres Rohil, Polda Riau, Mabes Polri dan lembaga lainnya segara mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan-perusahan tambang Illegal. Jangan tajam ke bawah tumpul ke atas," pungkas Daniel Pratama SH MH yang sudah beberapa kali melayangkan gugatan ke Pengadilan terkait Lingkungan Hidup. (team)