Meski Gencatan Senjata Diperpanjang, Pertempuran di Sudan Terus Berlanjut
Cari Berita

Advertisement

Meski Gencatan Senjata Diperpanjang, Pertempuran di Sudan Terus Berlanjut

Sabtu, 29 April 2023

Orang-orang berlari melewati kendaraan militer di Khartoum pada 15 April 2023 di tengah bentrokan yang dilaporkan terjadi di kota tersebut. int


KHARTOUM, PARASRIAU.COM - Faksi saingan militer Sudan setuju untuk memperbaharui gencatan senjata tiga hari, keputusan ini diambil sesaat  sebelum kesepakatan lama berakhir.


Perpanjangan untuk gencatan senjata '72 jam tambahan' ini mengikuti upaya diplomatik intensif yang dilakukan oleh negara-negara tetangga serta Amerika Serikat (AS), Inggris dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Namun ada laporan yang menyatakan bahwa pertempuran sengit terus berlangsung di ibu kota Sudan, Khartoum.


Dikutip dari laman BBC, Sabtu (29/4/2023), gencatan senjata sebelumnya memungkinkan ribuan orang untuk melarikan diri ke tempat aman, sementara puluhan negara mencoba mengevakuasi warganya.


Hampir dua minggu pertempuran antara tentara dan kelompok paramiliter saingan telah menyebabkan ratusan orang tewas. Pada Kamis dini hari lalu, tentara reguler Sudan menyetujui perpanjangan, dan saingannya yakni Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter mengikuti beberapa jam kemudian.


Sudan Selatan telah menawarkan untuk menjadi tuan rumah pembicaraan damai, dan tentara telah setuju untuk mengirim perwakilan ke pembicaraan tersebut.



Terlepas dari masa lalu yang pahit dan konflik bertahun-tahun yang menyebabkan pemisahan Sudan Selatan dari Sudan pada 2011, kedua negara kini tengah menikmati hubungan baik.


Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa negaranya 'sangat aktif mengupayakan' untuk memperpanjang gencatan senjata.

Ia mengklaim, meskipun tidak sempurna, hal itu telah mengurangi kekerasan di Sudan. Namun Juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan bahwa situasinya bisa saja memburuk setiap saat.


Di sisi lain, Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, di mana Uni Afrika bermarkas, menuliskan cuitan bahwa ia telah memanggil kedua jenderal yang bersaing untuk mendesak mereka menyelesaikan perbedaan secara damai.

Pada Jumat kemarin, sebuah pesawat militer Turki dalam misi evakuasi warganya ditembak saat mendarat di bandara di luar Khartoum.


Tidak ada yang terluka, namun RSF membantah tuduhan tentara reguler Sudan bahwa mereka terlibat dalam serangan itu. Sementara RSF dan saksi mata mengatakan tentara telah menggempur posisinya di Khartoum.


Menteri Luar Negeri di bekas pemerintahan sipil, Maryam al-Sadiq al-Mahdi mengatakan dari rumahnya di Khartoum bahwa meskipun ada gencatan senjata, warga sipil masih hidup dalam ketakutan.


"Apa yang mereka sebut gencatan senjata tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi, pengeboman oleh pesawat berlangsung hampir sepanjang hari dan malam," kata Maryam.


Pertempuran juga dilaporkan terjadi di wilayah Darfur barat dan provinsi lainnya. Sedikitnya 512 orang tewas dalam pertempuran tersebut dan hampir 4.200 terluka, meskipun jumlah kematian sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi.


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pihaknya memperkirakan akan ada 'lebih banyak lagi' kematian akibat wabah penyakit dan kurangnya layanan kesehatan di negara itu.


Pejabat kesehatan menyampaikan bahwa sebagian besar rumah sakit di daerah konflik tidak berfungsi, dan lebih dari 60 persen fasilitas kesehatan di Khartoum tidak aktif.


Kepala Komite Penyelamatan Internasional dan mantan Menteri Luar Negeri Inggris, David Miliband mengatakan bahwa masyarakat internasional kini dalam bahaya. Mereka cenderung mengabaikan krisis yang lebih luas di Sudan karena terburu-buru mengevakuasi Warga negara Asing (WNA).


"Fakta bahwa selama 10 hari terakhir hampir semua liputan media dan sebagian besar perhatian politik telah menyoroti evakuasi ribuan orang dan bukan pada kebutuhan untuk jutaan orang. Tentu saja nyawa ribuan orang yang harus dievakuasi itu penting, tapi bagaimana dengan 45 juta orang yang tersisa," tegas Miliband.


Miliband menjelaskan bahwa Sudan memiliki 15 juta orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. "Dan saya pikir bagian dari seruan kami hari ini sebagai Komite Penyelamatan Internasional adalah untuk mengatakan 'jangan jatuh ke dalam perangkap berpikir bahwa begitu ribuan orang dievakuasi, masalahnya selesai'," jelas Miliband.


Sebuah pernyataan militer Sudan yang dikutip kantor berita Reuters mengatakan bahwa pihaknya telah menguasai sebagian besar wilayah Sudan, namun 'situasinya agak rumit di beberapa bagian ibu kota'.


Negara asing termasuk Inggris, telah mendesak warganya untuk meninggalkan Sudan secepat mungkin. Berbicara pada Kamis malam, Jean-Pierre mendesak orang Amerika untuk pergi dari negara itu dalam 24 jam ke depan.


Evakuasi terus berlanjut, namun banyak orang asing masih terjebak di Sudan. Beberapa telah berjuang untuk sampai ke lapangan terbang yang digunakan untuk evakuasi.


Warga sipil setempat pun terus mengungsi dari ibu kota, di mana mereka menghadapi masalah dengan pasokan makanan, air dan bahan bakar. Jumlah warga Sudan yang melarikan diri dari pertempuran di Darfur melebihi jumlah penduduk Chad di desa Koufroun di sisi lain perbatasan. "Chad tidak akan mampu mempertahankan masuknya pengungsi jika situasi memburuk di Sudan," kata Donaig Le Du dari Unicef.


Sebelumnya, pertempuran pecah pada 15 April lalu sebagai akibat dari perebutan kekuasaan yang sengit antara tentara reguler Sudan dan RSF.

Komandan Angkatan Darat Sudan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Kepala RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo yang lebih dikenal sebagai Hemedti, tidak setuju dengan usulan negara untuk pindah ke pemerintahan sipil.


Khususnya tentang jangka waktu masuknya 100.000 RSF yang kuat ke dalam satuan tentara negara itu. Kedua faksi takut kehilangan kekuasaan di Sudan karena pada kedua belah pihak itu ada orang yang bisa diadili di Pengadilan Kriminal Internasional atas kejahatan perang yang telah dilakukan di Darfur hampir 20 tahun lalu. (*/pr2)


Editor: M Ikhwan