Prof Syafrinaldi Beberkan Standar 'Kegentingan Memaksa' Merespon Perppu Cipta Kerja
Cari Berita

Advertisement

Prof Syafrinaldi Beberkan Standar 'Kegentingan Memaksa' Merespon Perppu Cipta Kerja

Jumat, 27 Januari 2023

Prof Dr H Syafrinaldi Sofyan SH MCL, Rektor Universitas Islam Riau duduk sepanggung dengan aktivis Asfinawati, Elen Setiadi, MSE (Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukun, dan Ketahanan Ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian), Teddy Prasetiawan ST MT (Analis Legislatif Ahli Muda Badan Keahlian DPR RI), dan Dr. Eisha Maghfiruha Rachbini, SE, MSc (Peneliti INDEF dan Dosen Ilmu Ekonomi FE dan Manajemen IPB) dalam Seminar Nasional Badan Keahlian DPR RI, Jum'at (27/1 2023). ist


JAKARTA, PARASRIAU.COM - Rektor Universitas Islam Riau Prof Dr H Syafrinaldi SH MCL membeberkan standar/parameter kegentingan yang memaksa dalam merespon Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perpu itu lahir satu tahun setengah setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan mengharuskan Pemerintah memperbaikinya dalam jangka waktu dua tahun. Penerbit Perpu oleh Presiden Joko Widodo sekaligus mengundang kontra dari banyak cendekiawan.


Demikian disampaikan Syafrinaldi dalam Seminar Nasional bertajuk 'Quo Vadis Perppu Cipta Kerja yang dilaksanakan Badan Keahlian DPR RI di Hotel Borobudur Jakarta, Jum'at siang (26/1 2023). Seminar dibuka Wakil Ketua BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) DPR RI, Dr HR Achmad Dimiyati Natakusumah, SH, MH MSi, dan turut hadir Kepala Badan Keahlian DPR RI Dr Insonetius Samsul SH MHum, dan Kepala Pusat Kajian Anggaran Dr Helmizar ME. Tampak pula sejumlah Rektor dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta.


Berbincang santai dengan Rektor Universitas Negeri Padang Prof H Ganefri, SPd, MPd, PhD dan Rektor Universitas Islam Riau Prof Dr H Syafrinaldi Sofyan SH MCL.


Menurut Syafrinaldi, terdapat tiga parameter dalam mengukur kegentingan yang memaksa. Standar itu merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni pertama, adanya keadaan kebutuhan yaitu mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.


Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi revolusi hukum atau undang-undangnya ada tetapi tidak mencukupi. Ketiga, penyelesaian hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan.


Standar yang sama, kata Syafrinaldi, juga disampaikan Prof Jimly Asshiddiqie. Yakni adanya unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat), adanya unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable requirement) dan adanya unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.


''Dari ketiga standar tersebut dapat diartikan bahwa Perppu ditetapkan dalam hal terjadinya kegentingan yang memaksa untuk menyelesaikan masalah hukum dengan cepat, undang-undang yang dibutuhkan tidak mencukupi dan waktu yang tersedia terbatas untuk bertindak, frase kegentingan yang memaksa tidak identik dengan makna keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD NRI 1945,'' ungkap Syafrinaldi.


Bagaimana dengan Perppu Cipta Kerja, apakah periklanannya memenuhi standar ketiga? Rektor UIR ini membedahnya dari tiga perspektif. Pertama, aspek keadaan mendesak, yang dilatar belakangi oleh kondisi ekonomi dan ancaman inflasi dengan berbagai dampak yang ditimbulkan. Kedua, dari perspektif regulasi yang tersedia, dimana tidak ada aturan hukum yang efektif mengingat regulasi utama yang dapat menanggulangi ancaman ekonomi dan inflasi tidak mencukupi sebagai jalur dari adanya Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Ciptaker bersyarat inkonstitusional. Ketiga, dari perspektif pembatasan waktu, kedua kondisi sebelumnya tidak dapat ditangani apabila perbaikan terhadap UU Ciptaker atas Putusan MK dilakukan dengan prosedur yang umum.


''Jadi sesungguhnya dari ketiga parameter, Perppu Cipta Kerja telah memenuhi ketiga standar penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Hanya saja soal keadaan mendesak, ini sifatnya relatif dan sangat bergantung pada sudut pandang. Saya dan banyak cendekiawan penuntutan, ukurannya subyektif. Artinya alasan yang disampaikan Pemerintah terkait keadaan mendesak juga bersifat subyektif,'' beber Syafrinaldi.


Kita tunggulah putusan Mahkamah Konstitusi, sebab Perppu itu sendiri sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. ''Ada elemen masyarakat yang sedang diujinya di MK,'' ujar Syafrinaldi.


Dalam seminar yang diikuti 400 peserta itu, Syafrinaldi duduk satu meja dengan tiga sumber lain. Yakni Elen Setiadi, SH, MSE (Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi, Kementerian Koordinator Bidanhg Perekonomian), Asfinawati (aktivis/Wakil Ketua STHI Jakarta), Teddy Prasetiawan ST MT (Analisis Legislatif Ahli Muda Badan Keahlian DPR RI) dan Eisha Maghfiruha Rachbini, SE, MSc, PhD. 


Semnas juga menghadirkan nara sumber lain dalam sesi yang berbeda. Seperti Prof Dr Intiyas Utami SE MSi, Ak (Rektor Universitas Kristen Satya Wacana), Prof Dr Rina Indiastuti SE MSIE (Rektor Universitas Padjajaran), Yulianti Abbas ME PhD (Ketua Departemen Akuntansi FEB Universitas Indonesia), Dwi Resti Pratiwi ST MPM (Analis APBN Ahli Muda BK DPR), Dr James Gomez (Direktur Regional di Asia Center). Mereka membentangkan tiang tenda bertajuk, 'Prospek Perekonomian Nasional, Tinjauan: Fungsi APBN sebagai Peredam Kejut (Peredam Kejut) di Tengah Ketidakpastian Global. 


Di luar itu terdapat pula Prof Dr Jamal Wiwoho SH MHum (Rektor Universitas Sebelas Maret), Prof Dr Garuda Wiko SH MSi (Rektor Universitas Tanjung Pura), Muhammad Edhie Purnawan MA PhD (Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada), Dr Ari Mulianta Ginting (Analisis Ahli Legislatif Madya Bidang Anggaran BK DPR RI). Mereka tampil dengan makalah berjudul, 'Persiapan Pelaksanaan Keserentakan Pemilu 2024, Tinjauan: Fungsi APBN sebagai Shock Absorber (Peredam Kejut) di Tengah Ketidakpastian Global'. 


Narasumber lain membedah 'Qua Vadis RUU Sisdiknas, masing-masing Arianto Nugroho SH SPd MH (Ketua Program Studi Hukum Universitas Negeri Surabaya), Prof Dr H Ganefri MPd PhD (Rektor Universitas Negeri Padang), Prof Dr Cecep Darmawan SPd SIP SH MH MSi (Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia). (*)


Editor: M Ikhwan