Indonesia dan Mesir merupakan dua negara sahabat yang memiliki sejarah panjang. Di masa kemerdekaan, Mesir menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Hubungan kedua negara melalui pemimpinnya Soekarno dan Gamal Absul Nashir menjadikan keduanya penentu di kawasan Asia Afrika saat itu.
Dalam konteks keagamaan, pendidikan dan dakwah, peran Mesir terhadap Indonesia melalui Universitas Al-Azhar sangat dirasakan. Generasi tahun 50-60an yang saat itu belajar di Universitas Al-Azhar, sebut saja beberapa nama ssperti: KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, KH. Ahmad Azhar Basyir, KH. Hasan Abdullah Sahal, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), Prof. Quraish Shihab, Prof. Huzaemah Yanggo, Prof. Roem Rowi, Ustadz Abdul Shomad, dan lain-lain tak dapat dipungkiri ikut mewarnai kehidupan keagamaan dan kebangsaan di Indonesia. Bahkan, Amien Rais pun konon pernah mengenyam pendidikan menengahnya di Al-Azhar (Dirosah Khossoh). Mereka kini menjadi tokoh-tokoh umat dan bangsa yang disegani.
Kemudian dilanjutkan dengan generasi setelahnya, sebut saja: Prof. Amani Lubis, (Rektor UIN Syarif Hidayatullah), TGB Zainul Magdi (Ketua OIAA, Mantan Hubernur NTB), Dr. Setiawan Lahuri (Wakil Rektor UNIDA Gontor), KH. Fauzi Tidjani (Pengasuh PP Al-Amien Madura), KH. Ghofur Maimun Zubeir (Pengasuh PP Al-Anwar Sarang), KH. Imam Jazuli (Pengasuh PP Bina Insan Mulia Cirebon), KH. Anang Rikza Masyhadi (Pengasuh PP Tazakka Batang), Dr. Mukhlis Hanafi (Direktur Pusat Studi Al-Quran) dan lain-lain masih sangat banyak, mereka adalah generasi yang saat ini menjadi panutan, pimpinan lembaga pendidikan dan ulama di Indonesia.
Tentu saja, selain nama-nama di atas, masih ada ribuan nama lain yang kini menjadi tokoh ulama dan panutan masyarakat, pimpinan pesantren, pimpinan ormas Islam dan juga penggerak di bidang sosial, politik dan ekonomi. Saat ini pun terdapat lebih dari 10 ribu mahasiswa Indonesia yang mengenyam pendidikan di Al-Azhar Mesir. Ke depan, merekalah yang akan tampil mengambil estafet peran dan kiprah para senior sebelumnya.
Al-Azhar yang sejak awal menganut pandangan Wasatiah Islam, dengan doktrin sebagai khoirunnas anfa’uhum linnas, dengan berbagai materi-materi keilmuan yang sangat dalam, dan pola kehidupan berasramanya menjadikan para alumninya berhasil dan dapat hidup sebagai mutiara di Indonesia. Celupan keilmuan dan pendidikan Al-Azhar tidak diragukan lagi menjadi sumber pengalaman dan modal yang besar bagi para alumninya untuk berkhidmat dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan.
Bagaimana dengan saat ini?, Seharusnya hal demikian diteruskan: kaderisasi lembaga pendidikan, pesantren, ormas dan lainnya harus terus dapat dilakukan. Maka, proses kaderisasi keulamaan dan keintelektualan melelui Universitas Al-Azhar Mesir yang terpola dan terkonsep serta terstruktur dengan baik memerlukan waktu yang cukup panjang.
Kunjungan hampir semua Grand Syaikh Al-Azhar ke Indonesia membuktikan perhatian yang besar Al-Azhar kepada masyarakat dan bangsa Indonesia, tidak diragukan lagi keilmuan Al-Azhar mewarnai nuansa keagamaan pendidikan di Indomesia dan dunia pada umumnya.
Mekanisme kaderisasi melalui Universitas Al-Azhar, haruslah mengacu kepada ketentuan yang sah dan benar. Mengutip pendapat KH. Anang Rikza dalam acara zoom meeting Ngopi Bareng Mahasiswa Al-Azhar dengan para alumninya yang sudah menjadi tokoh: “Apapun konsep dan pola seleksi ke Al-Azhar Mesir, harus Inline dengan aturan dan syarat yang telah ditetapkan oleh Al-Azhar, baik secara administratif maupun kompetensi kualitatif”.
Menurut saya, ini penting. Jangan sampai mengabaikan salah satunya. Syarat kompetensi kualitatif tanpa syarat administratif, atau sebaliknya, akan melahirkan beberapa masalah yang krusial. Selain itu, harus ada pertimbangan mengenai prospek kaderisasi di lembaga-lembaga pendidikan Islam, pesantren dan ormas-ormas Islam.
Seleksi mahasiswa yang dilakukan oleh Negara melalui Kementerian Agama RI, hemat saya sudah benar: menyaring dan menyeleksi calon mahasiswa dengan ujian kepatutan dan kemampuan dari sisi akademik, bahasa dan wawasan keIndonesiaan. Namun, sekali lagi, seleksinya pun harus memperhatikan persyaratan administrasi dan aturan yang sejalan dengan aturan di Al-Azhar, yaitu menggunakan ijazah mu’adalah Al-Azhar.
Sejatinya, melalui sistem Mu’adalah dengan Al-Azhar, maka Al-Azhar telah membuat semacam ‘kartu garansi kompetensi’ bagi calon mahasiswanya. Karena, lembaga pendidikan atau pesantren yang akan mengajukan mu’adalah dengan Al-Azhar secara otomatis akan menyesuaikan kurikulum, silabus dan standar akademik di Al-Azhar. Maka, secara otomatis akan tersaring dengan sendirinya. Kebetulan beberapa hari yang lalu ada santri putri kita yang lulus beasiswa dan minta ijazah yang sudah muadalah al-Azhar, alhamdulillah bisa kita berikan.
Sebagai Presiden Pengasuh Pesantren Indonesia (P2I), saya merekomendasikan agar pondok-pondok pesantren dan lembaga pendidikan yang akan mengirimkan kadernya dan alumninya ke Al-Azhar Mesir melakukan proses pemuadalahan ijazah dengan Al-Azhar, sehingga tidak terjadi penyelewengan atau penyalahgunaan kewenangan oleh beberapa pihak yang memberangkatkan para mahasiswa ke Al-Azhar Mesir.
Saya mendengar, saat ini ada puluhan calon mahasiswa yang lulus seleksi beasiswa dan telah berada di Mesir, namun tidak dapat mendaftar kuliah di Al-Azhar dikarenakan faktor persyaratan administrasi utama tidak terpenuhi (ijazahnya tidak mua’dalah). Hal ini tentunya menjadi perhatian bersama semua pihak, mengintrospeksi diri dari beberapa kekeliruan dan penyalahgunaan kewenangan agar ke depan tidak terjadi kembali.
Diperlukakan kearifan semua pihak, untuk duduk bersama dan mencari solusi bagi kemaslahatan para kader umat di masa depan. ***
Penulis: Dr. KH. Tata Taufik
(Presiden Pengasuh Pesantren Indonesia)