Terkait Eksekusi Lahan di Gondai, Kejari Pelalawan Tetap Laksanakan Putusan MA
Cari Berita

Advertisement

Terkait Eksekusi Lahan di Gondai, Kejari Pelalawan Tetap Laksanakan Putusan MA

Sabtu, 20 Maret 2021


PEKANBARU, PARASRIAU.COM - Kejaksaan Negeri Pelalawan selaku eksekutor menegaskan bahwa dalam putusan pidana yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) terkait eksekusi dan penertiban serta pemulihan ribuan hektar lahan sawit yang dikelola PT Peputra Supra Jaya (PSJ) di wilayah desa Pangkalan Gondai, Langgam, Pelalawan sudah inkrah. Dengan demikian, tindak lanjut eksekusi itu tetap harus dilaksanakan. 


"Menurut pandangan kami selaku eksekutor, putusan perkara pidana yg telah berkekuatan hukum tetap (inkrah), maka pelaksanaan penertiban dan pemulihan kawasan hutan sebagai tindak lanjut eksekusi Putusan Mahkamah Agung RI itu harus tetap dilaksanakan," tegas Kasi Pidum Kejari Pelalawan, Riki Saputra saat dikonfirmasi media, Jumat (19/03/21). 


Putusan eksekusi tersebut, tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tertanggal 17 Desember 2018 yang berisi tentang instruksi mengembalikan lahan kepada negara melalui Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Provinsi Riau. Dimana Hutan Tanaman Industri (HTI) kemudian diserahkan kepada PT NWR yang memegang izin seluas 3.323. 


Sementara, MA baru-baru ini juga kembali mengeluarkan putusan bahwa surat perintah tugas nomor 096/PPLHK/082 tanggal 10 Januari 2020 untuk pengamanan atau eksekusi lahan sawit batal atau tidak sah. Hal itu tertuang dalam Putusan Nomor 595 K.TUN/2020 dan disampaikan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru. 


Menurut Riki, Putusan Mahkamah Agung RI dalam Peradilan Pidana dan putusan Mahkamah Agung RI dalam peradilan TUN merupakan hal yang berbeda. Bahkan menurutnya tidak ada hubungannya. 


"Menurut hemat kami dua putusan itu merupakan hal berbeda. Sebab objeknya juga berbeda," bebernya. 


Hal senada juga disampaikan, Pengamat Hukum UR, Mexsasai Indra. Ia berpendapat bahwa tak ada korelasi atau saling berkaitan antara putusan pidana (eksekusi) dan putusan TUN tersebut. 


Menurutnya, jika dilihat dari peristiwa hukumnya, ada dua putusan Pengadilan terhadap satu peristiwa hukum. Yakni putusan pidana dan putusan PTUN. 


"Yang perlu dipahami secara filosofis adanya Putusan TUN, tidak dimaksudkan melakukan tindakan korektif terhadap putusan dalam peristiwa Pidananya. Sebab, hal ini terkait dengan kompetensi absolut dari badan peradilan untuk memeriksa dan mengadili dalam perkara a quo," terangnya seperti dilansir riauterkini.com.


Berdasarkan pengamatannya, apa yang menjadi objek sengketa TUN dalam perkara tersebut, yakni terkait dengan adanya Surat Tugas yang dikekuarkan oleh DLHK Provinsi Riau, yang notabenenya merupakan implementasi atau tindaklanjut atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs). 


Sementara dalam perkara pidananya, secara teoritis apa yang menjadi objek gugatan dalam perkara tersebut, tidak memenuhi unsur sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana beberapa kali dilakukan perubahan. 


Selanjutnya, dari aspek kewenangan DLHK memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti putusan tersebut. Karena dari pendekatan kewenangan lingkup materi (bevoegdheid ratione materiae) merupakan kewenangan dari KLHK Cq DLHK Provinsi Riau. 


"Karena dalam putusan Pidananya secara eksplisit menyatakan bahwa areal yang menjadi objek sengketa dikembalikan kepada negara, sehingga keadaan hukumnya dikembalikan kepada negara dengan landasan filosofis Pasal 33 ayat (3) UUD 1945," terangnya. 


"Jadi dari case posisinya saya berpandangan bukan privat to privat tapi adanya pelanggaran terhadap public domain yang dinormakan oleh negara sebagai sesuatu yang dilarang (verboden)," tambahnya. 


Kemudian, Ia menilai secara teoritis putusan TUN, mengenai Keputusan TUN (surat tugas) bukan sengketa perdata yang kompetensi absolut untuk memeriksa dan mengadilinya berbeda. Sebab, dalam peritiwa ini sudah masuk dalam case kongkrit. 


"Sebaiknya bagi pihak-pihak yang mau memberikan pendapat, harus memberikan informasi dan pandangan yang obyektif. Jadi dalam perkara ini, saya menilai tidak ada korelasi antara putusan pidananya dengan putusan TUN nya," tutupnya. pr2