PEKANBARU, PARASRIAU.COM - Ratusan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Riau tolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Fahmi Idris sebut BPJS terancam mati.
Ratusan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Riau, Senin (7/10) pagi gelar unjuk rasa di depan kantor BPJS Kesehatan Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) Jambi di Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru.
Dalam unjuk rasa itu, para buruh tolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, perbaiki regulasi terkait sistem pelayanan peserta BPJS Kesehatan. Kemudian tangkap dan adili pelaku-pelaku terkait dugaan gratifikasi dana BPJS Kesehatan.
Koordinator Lapangan (Korlap) Juandi dalam orasinya minta iuran BPJS Kesehatan jangan dinaikan karena itu sangat memberatkan parah buruh dan juga masyarakat. "Untuk itu kami minta agar pihak BPJS Kesehatan segera menemui kami dan menjelaskannya kepada kami," ujar Juandi dengan pengeras suara.
Seperti diketahui Penyesuaian iuran BPJS itu untuk kelas I jadi Rp 160 ribu, kelas II jadi Rp 110 ribu dan kelas III jadi Rp 42 ribu itu masih regulasi atau usulan dari Pemerintah. Jadi belum disahkan oleh DPR RI.
Terkait unjuk rasa dari para buruh tersebut kata, Humas BPJS Kesehatan Kepwil Sumbagteng Jambi, Agung Priyono, Senin (7/10), BPJS Kesehatan menghargai penyampaian pendapat dari teman-temab buruh. "Tuntutan mengenai besaran iuran, hal itu menjadi kewenangan pemerintah pusat dan BPJS Kesehatan siap melaksanakan apapun keputusan pemerintah," ujar Agung.
Sedangkan mengenai masukan tentang kualitas pelayanan tambah Agung, BPJS Kesehatan berkomitmen penuh dengan stakeholder terkait untuk selalu berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi peserta JKN-KIS di seluruh indonesia" ucapnya.
Sementara itu terkait penyesuaian kata Agung lagi, itu dilakukan untuk menjaga keseimbangan keuangan mengingat besaran iuran yang sekarang berlaku masih berada dibawah perhitungan aktuaria. "Hal ini menjadi salah satu sumber penyebab defisit. Apalagi menurut UU, iuran juga disesuaikan tiap 2 tahun," ungkapnya.
Oleh karena itu jelas Agung, tentu saja diharapkan dengan penyesuaian iuran ini program JKN KIS yang sudah dirasakan manfaatnya tetap bisa berlangsung dan kualitas layanan juga bisa ditingkatkan.
Iuran BPJS Naik Jadi Rp 160.000 Per Bulan
Dikutip dari Kompas.com, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris meyakini kenaikan iuran peserta tak akan membebani masyarakat. Sebab, untuk peserta kelas I hanya diminta membayarkan iuran Rp 160.000 tiap bulannya.
Menurut dia, jika dihitung per harinya, nominal tersebut sangat terjangkau. “Narasi iuran ini untuk kelas I masyarakat non formal kurang lebih Rp 5.000 per hari. Untuk dana pemeliharaan diri hanya Rp 5.000 per harinya,” ujar Fahmi di Jakarta, Senin (7/10/2019).
Selanjutnya, untuk peserta kelas II diwajibkan membayar iuran sebesar Rp 110.000 tiap bulannya. Kata Fahmi, jika dikalkulasikan dalam tiap harinya, para peserta cukup menyisihkan dana sekitar Rp 3.000. “Untuk kelas III sekitar Rp 1.800-1.900 per hari,” kata Fahmi.
Apalagi jika masyarakat yang benar-benar tak mampu iurannya akan dibayarkan oleh pemerintah. Masyarakat tersebut masuk dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Atas dasar itu, Fahmi menilai kenaikan ini tak akan membebani masyarakat. “Kalau iuran dinaikkan seperti yang diusulkan, pemerintah berkontribusi hampir 80 persen. Jadi salah besar kalau beban ini dibebankan ke masyarakat. Pemerintah tetap didepan untuk menyelesaikan masalah ini,” ucap dia.
Fahmi Idris mengungkapkan, jika iuran tidak naik maka BPJS Kesehatan bisa mati alias bangkrut atau colaps. Hal ini lantaran defisit BPJS Kesehatan terus membengkak setiap tahunnya. "Bisa colaps? Iya," ujarnya tegas di Forum Merdeka Barat, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Menurutnya, layanan untuk para peserta tidak mungkin dihentikan apalagi masalah kesehatan sangat penting. Oleh karenanya kebijakan kenaikan iuran dinilai cari paling tepat. "Begini, kami tidak ingin pelayanan berhenti. BPJS Kesehatan sendiri mendapat sanksi, dihukum kalau telat bayar rumah sakit, itu 1% dari setiap klaim yang masuk," jelasnya.
Dengan denda itu, maka kerugian akan ditanggung oleh negara melalui suntikan dana. Ini tentunya terus merugikan negara. "Kami laporkan ke Kemenkeu berapa denda yang harus dibayar, yang mana denda itu membebani negara dan APBN. Kadi kita harap ini cepat diselesaikan," tutupnya. ***
dilansir: tribunpekanbaru.com