DPR RI Minta Pemerintah Kaji Ulang Sanksi Penunggak BPJS Kesehatan
Cari Berita

Advertisement

DPR RI Minta Pemerintah Kaji Ulang Sanksi Penunggak BPJS Kesehatan

Sabtu, 12 Oktober 2019



JAKARTA, PARASRIAU.COM - BPJS Kesehatan setiap mengeluarkan aturan baru, kerap memunculkan perdebatan serta penolakan dari masyarakat. Bahkan yang terakhir, terkait penunggak iuran BPJS Kesehatan akan dikenai sanksi yakni denda juga tidak bisa memperpanjang paspor, SIM, kredit perbankan hingga administrasi pertanahan.

Menanggapi hal tersebut, anggota DPR RI Saleh Partaonan Daulay menilai, sanksi tersebut malah akan membuat masyarakat semakin tidak nyaman. Saleh menjelaskan, ketimbang memberikan sanksi lebih baik BPJS Kesehatan memberikan kesempatan untuk meningkatkan kolektabilitas iuran melalui jaringan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Hal itu disampaikan Saleh lantaran melihat ancaman pemberian sanksi dianggapnya tidak akan efektif. "Kalau diancam dengan sanksi, dikhawatirkan tidak efektif. Masyarakat bisa saja merasa tidak nyaman. Lebih baik, persoalan tunggakan iuran tersebut diselesaikan dengan pendekatan partisipatoris dan persuasif," jelas Saleh, Kamis (10/10/2019) kemarin.

Sanksi berupa tidak bisanya para penunggak memperpanjang paspor, SIM, kredit perbankan hingga administrasi pertanahan misalnya. Menurut Saleh sanksi itu tidak efektif karena bukan kebutuhan primer dari masyarakat itu sendiri.

"Orang tidak selalu butuh IMB, SIM, STNK, paspor, dan sertifikat tanah. Paspor, misalnya, itu hanya dibutuhkan oleh orang yang sering keluar negeri. Kalau dia menunggak, masa harus ditunggu dia membuat paspor untuk dijatuhi sanksi? Atau masa harus menunggu habis masa berlaku paspornya," sambungnya.

Saleh pun meminta pemerintah untuk tidak terlalu mudah menetapkan suatu aturan untuk mengatasi persoalan BPJS. Ia menilai setiap BPJS Kesehatan mengeluarkan aturan baru, kerap kali memunculkan perdebatan serta penolakan dari masyarakat. Dengan demikian Saleh juga meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana pemberian sanksi tersebut yang tertuang dalam instruksi presiden (Inpres).

Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris mengatakan, automasi sanksi layanan publik dimaksudkan untuk meningkatkan kolektabilitas iuran peserta BPJS Kesehatan dari segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).

"Inpresnya sedang diinisiasi untuk sanksi pelayanan publik. Selama ini sanksi ada tapi hanya tekstual tanpa eksekusi, karena itu bukan wewenangnya BPJS," kata Fachmi seperti dilansir di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dengan regulasi melalui instruksi presiden tersebut, pelaksanaan sanksi layanan publik akan diotomatiskan secara daring antara data di BPJS Kesehatan dengan basis data yang dimiliki oleh kepolisian, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahan Negara, dan lain-lain.

Sehingga apabila ada seseorang yang ingin mengakses layanan publik seperti memperpanjang SIM namun masih menunggak iuran, sistem yang terintegrasi secara daring tidak bisa menerima permintaan tersebut.

Sanksi layanan publik tersebut sebenarnya sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 86 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Namun Fachmi menyampaikan bahwa sanksi tersebut tidak ada satu pun yang pernah dilaksanakan karena institusi terkait yang memiliki wewenang. Hasilnya, tingkat kolektabilitas iuran peserta mandiri atau PBPU yang berjumlah 32 juta jiwa hanya sekitar 50 persen.

Fachmi menekankan pentingnya sanksi bagi peserta yang tidak mau membayar iuran. Dia mengambil contoh jaminan sosial negara lain seperti Korea Selatan yang sebelumnya kolektabilitas hanya 25 persen menjadi 90 persen ketika menerapkan sanksi untuk kolektabilitas.

Di Korea Selatan, pemerintah diberikan wewenang untuk mengakses rekening peserta jaminan sosial dan langsung menarik besaran iuran dari dana pribadi bila orang itu mampu membayar. Contoh lainnya, di salah satu negara Eropa, kepatuhan membayar iuran jaminan sosial menjadi syarat untuk meneruskan pendidikan di perguruan tinggi.

Saat ini BPJS Kesehatan juga telah menerapkan sistem autodebet bagi peserta yang baru mendaftar. Akun bank peserta secara otomatis akan berkurang jumlahnya untuk dibayarkan iuran kepada BPJS Kesehatan.

Namun sistem autodebet tersebut masih memungkinkan gagal apabila peserta sengaja tidak menyimpan uang pada nomor rekening yang didaftarkan lalu membuka akun bank baru. Oleh karena itu Fachmi berharap pada regulasi mengenai automasi sanksi akan meningkatkan kepatuhan dan kepedulian masyarakat dalam membayar iuran.***

dilansir: suara.com