Cara Cerdas Mendidik Generasi Milenial
Cari Berita

Advertisement

Cara Cerdas Mendidik Generasi Milenial

Senin, 29 Juli 2019


PARASRIAU.COM - Lebih sulit jadi orang tua generasi milenial atau generasi Z? Sebenarnya jika orangtua itu punya kreativitas dalam "parenting" tidak ada yang sulit dalam membesarkan apakah itu anak milenial atau generasi Z.

Tak perlu khawatir untuk membedakan parenting antara generasi milenial dan generasi X. Perlu dulu diketahui siapa generasi milenial itu? Generasi milenial atau generatisi Y adalah mereka yang lahir antara 1981-1995 sementara generasi Z adalah mereka yang lahir setelah 1995.

Bagi generasi Y, satu-satunya generasi yang melewati era milenium kedua. Mereka itu berada di tengah-tengah, artinya masih menikmati zaman sebelum digital dan setelah digital. Mereka merasakan bagaimana belajar tanpa gadget, komunikasi hanya dengan SMS, perlu waktu . Tetapi tipe atau karakter dari generasi Y disebut dengan generasi serba cepat setelah mengenal dunia digital.

Bagi generasi Z, lahir di tahun 1995 di mana dunia internet di Indonesia sudah lahir sekitar tahun 1995. Artinya begitu mereka lahir, mereka langsung melek digital. Oleh karena itu anak-anak generasi Z mudah sekali menggunakan semua aplikasi yang ada di gadget tanpa diajarin oleh siapa pun. Mereka jauh lebih cepat adaptasi dengan dunia digital dan menurut beberapa penelitian generasi Z jauh lebih instan menuntut keinginannya. Generasi Z cepat bosan saat bekerja, baru bekerja beberapa bulan, sudah ingin pindah ke tempat pekerjaan lain atau jenis pekerjaan lainnya.

Tantangan bagi orang tua untuk mengajar atau mendidik anak-anak generasi Z adalah kreativitas dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu kreativitas yang perlu diimplementasikan oleh orangtua adalah dengan GRIT.

Apa itu GRIT?

Menurut Prof Angela, Grit adalah suatu tingkatan yang lebih tinggi dari sekedar passion. Menyelesaikan satu pekerjaan dengan penuh tangguh jawab walaupun kesulitan menghadang. Grit lebih dari sekedari kegigigihan dalam kesulitan dari sesuatu yang dikerjakannya.

Melatih Grit itu juga harus dilakukan sejak kecil agar anak punya kesadaran bahwa jika dia menginginkan sesuatu bukan hanya sekedar mau saja, tapi harus menyelesaikan apa yang diinginkan itu sampai tuntas meskipun ada beberapa halangan yang dihadapinya.

Contoh yang paling sederhana bagi orangtua saat didik anaknya. Tidak boleh mengatakan "jangan" ketika anak-anak itu melakukan kreativitasnya . Saat anak mencoret-coret meja kayu kesayangan kita dengan spidol, atau mencoret-coret tembok dengan spidol. 

Alih-alih orangtua mengatakan "Jangan coret-coret di sini!", Anda  dapat mengatakan bahwa "ini meja bagus dia juga perlu dirawat. Kasihan jika dia sakit kalau dicoret-coret, harus dibawa ke tukang kayu. Perlu biaya untuk bawa ke tukang kayu. Uang ayah yang seharusnya untuk beli mainan, jadi habis untuk biaya tukang kayu."

Anak bisa memahami alasan kenapa dia tak boleh mencoret. Lalu berikan kertas yang besar sebagai pengganti meja yang digunakan untuk mencoret.

Untuk melatih kegigihan anak agar anak punya daya juang atau "grit", orangtua pun mendorong anak apabila menginginkan sesuatu harus sabar dan harus bisa meraihnya sampai dia selesai menyelesaikan pekerjaan itu.

Ada penelitian Prof. Angela dengan melakukan percobaan kepada beberapa anak. Anak-anak ini diberikan marshmallow (marshmallow adalah manisan atau makanan ringan bertekstur seperti busa , lembut dan aroma dan warny)a. Jika dimakan akan meleleh di mulut.

Begitu cepatnya anak mengunyah marshmallow di mulutnya. Lalu ada perintah bahwa anak akan mendapatkan marshmallow yang kedua apabila mereka mau menunggu sampai ada perintah dibagikan.

Saat menunggu cukup lama bagi anak yang tidak sabar. Ada yang gelisah, ada yang menangis, ada yang berteriak atau ada yang marah karena tidak cepat mendapatkannya. Penelitian menunjukkan bagi anak yang paling sabar menunggu, dialah yang punya Grit yaitu mampu menahan diri untuk bisa mendapatkan sesuatu.


Orang tua yang sering dirongrong oleh anak karena setiap kali pergi ke mal, minta dibelikan mainan baru. Padahal mainan lamanya sudah dibongkar tanpa dibereskan dan diperbaiki seperti semula. Orangtua harus berani mengatakan bahwa tidak ada mainan baru kecuali dia menyelesaikan mainan yang dibongkarnya itu menjadi seperti semula.

Interaksi orang tua dengan generasi X juga harus terbuka, transparan bahkan harus menjelaskan kenapa orangtua melarang anaknya menggunakan gadget seharian penuh.

Menjelaskan dengan tidak hanya dengan kata-kata yang penuh bunga-bunga bahwa nanti matanya akan rusak, nanti akan mengganggu pelajaran dan lalu akan tidak naik kelas.

Penjelasan yang paling ampuh bagi anak adalah teladan yang diberikan orangtua kepada anak. Orangtua melarang anak gunakan gadget hanya dengan memberi contoh bahwa orangtua pun hanya gunakan gadget saat diperlukan. Misal: saat membalas pertanyaan dari teman dan waktunya juga terbatas hanya 10-15 menit tiap kali membuka gadget.

Tantangan bagi orang tua untuk tetap berkreativitas dalam kata-kata apabila salah satu orangtua karena keterbatasan waktunya untuk bisa dekat dengan anaknya. Contohnya anak yang dekat dengan ibunya karena ibunya tidak bekerja secara formal, lebih banyak di rumah. Lalu karena kecapean, ibu sering mengomel kepada anaknya. Sementara ayah yang hanya bertemua anak dalam waktu singkat, tentunya anak melihat ayah lebih baik karena tidak pernah ngomel seperti ibu.

Untuk menghilangkan persepsi anak bahwa ayah jauh lebih baik ketimbang ibu maka ayah pun harus berkreativitas mengatakan kepada anak bahwa ibu itu tidak mengomel tapi sedang kecapean. Dia berkata-kata kepada dirinya sendiri. Anak harus pahami situasinya dan tidak merasa dimarahin atau tidak merasa bahwa ibunya suka mengomel dan jahat.***

dilansir : kompas.com