Berpikir Kritis dalam Belajar Sejarah: Menanggapi Keppres No. 2 Tahun 2022
Cari Berita

Advertisement

Berpikir Kritis dalam Belajar Sejarah: Menanggapi Keppres No. 2 Tahun 2022

Senin, 21 Maret 2022

                                Asyrul Fikri 


BELAJAR sejarah di sekolah maupun di perguruan tinggi tidak terlepas dari materi sejarah yang kontroversi. Maksud kontroversi disini adalah peristiwa sejarah yang memiliki bermacam versi cerita sejarah. Tentunya cerita tersebut didukung oleh data sejarah yanga ada. 


Peristiwa sejarah kontroversi yang sering diperbincangkan masyarakat umum diantaranya Peristiwa G30S/PKI, Supersemar dan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.


Lingkaran Kontroversi tersebut berputar pada aspek pelaku sejarah dan sumber dokumen. Berkaitan dengan pelaku sejarah yaitu sejauhmana tokoh yang berperan dalam peristiwa sejarah tersebut. Apakah sebagai pelaku utama atau tidak. 


Menyikapi hal tersebut, pemerintah hadir dan berupaya menjadi penengah dalam menyampaikan peristiwa sejarah kepada masyarakat (tentu saja sejarah dari sudut pandang pemerintah). Bahkan muncul istilah “sejarah milik penguasa dan pemenang”. Persoalan mengenai sejarah sebagai kisah penting untuk disampaikan kepada masyarakat secara objektif tanpa ada kepentingan apa pun. 


Dikeluarkannya Keputusan Presiden No 2 Tahun 2022 tentang penetapan 1 Maret sebagai hari Penegakan Kedaulatan Negara pada 24 Februari 2022 yang lalu menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat umum khususnya di kalangan sejarawan. 


Penetapan 1 Maret tersebut merujuk pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Penolakan dari keppres ini adalah pada Keppres tersebut tidak menyebutkan nama Soeharto. Bahkan ada sejarawan yang mempertanyakan masuknya nama Soekarno pada Keppress tersebut.


Mahfud MD selaku Menkopolhukam memberikan pernyataan bahwa nama Soeharto bukan dihilangkan tetapi tetap tertulis pada naskah akademis mengenai perumusan Keppres tersebut.


Terkait hal tersebut, beberapa sejarawan memberikan solusi yaitu pada Keppres tidak perlu menyebutkan nama tokoh. Hal ini untuk meredam berbagai perdebatan di kalangan masyarakat.

Dengan adanya Keppres tersebut, tentu saja berpengaruh secara langsung pada materi pelajaran di sekolah.


Berbagai literatur menyebutkan nama Soeharto ikut terlibat dalam membantu terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Disinilah peran guru sejarah sangat penting yaitu bagaimana belajar sejarah dengan berpikir kritis. 


Belajar sejarah tujuan utamanya tidak hanya mampu menjelaskan peristiwa sejarah, tetapi juga mampu memaknai dan mengambil nilai-nilai positif dari para tokoh-tokoh pejuang tersebut untuk menjadi tauladan dalam kehidupan sehari-hari.


Guru sejarah dapat melaksanakan pembelajaran sejarah berbasis riset mini pada materi sejarah kontroversi. Peserta didik diarahkan bagaimana menghadirkan sejarah sebagai kisah. Mereka dididik untuk menyampaikan suatu peristiwa sejarah apa adanya dan tanpa ada kepentingan apapun.


Setiap sumber data sejarah ditelaah secara kritis. Guru sejarah dapat berperan sebagai fasilitator dengan memberikan beberapa referensi yang berkaitan dengan sejarah kontroversi tersebut.


Belajar sejarah dengan berpikir kritis akan mengajarkan kepada mereka bahwa mendudukkan suatu peristiwa dan peran tokoh pada tempat yang tepat dan benar berdasarkan fakta sejarah. Termasuk bersikap rendah hati dengan tidak membesar-besarkan peran tokoh yang disukai dan mengecilkan peran tokoh yang kurang kita sukai. ***


Penulis adalah Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Riau.