Vape tak 100 Persen Aman karena Rawan Penyalahgunaan
Cari Berita

Advertisement

Vape tak 100 Persen Aman karena Rawan Penyalahgunaan

Senin, 09 September 2019


PARASRIAU.COM - Kasus kematian akibat penyakit paru misterius yang menjangkiti para pengguna vape di AS sedang marak dibicarakan. Sebagian besar di antaranya terjadi pada pemakaian bahan-bahan terlarang, seperti kandungan ganja.

Di Indonesia sendiri vape sudah jadi tren sejak beberapa tahun yang lalu. Kehadirannya sebagai tembakau alternatif dianggap sebagai solusi bagi mereka yang sulit berhenti menggunakan rokok konvensional.

Rokok konvensional menggunakan metode pembakaran tembakau yang menghasilkan racun yang lebih berbahaya. Vape, walaupun tidak 100 persen aman, tidak melalui proses pembakaran seperti halnya rokok konvensional.

"Electronic cigarette dan tembakau yang bukan dibakar adalah alternatif bagi perokok yang ingin mengurangi rokok karena 95 persen, aman. Tapi masih ada 5 persen, itu kita nggak boleh diam saja. Sebagai konsumen, harus secara cerdas dan bertanggung jawab menggunakan produk alternatifnya. Ini masih perlu penelitian bagaimana dampaknya ke konsumen," jelas pemerhati kesehatan publik dr Tri Budhi Baskara dalam sebuah talkshow pada Minggu (8/9/2019).

Electronic cigarette dan tembakau yang bukan dibakar adalah alternatif bagi perokok yang ingin mengurangi rokok, karena 95 persen aman. Tapi masih ada 5 persen, itu kita nggak boleh diam saja.

Maraknya penggunaan vape membuat pengawasannya harus lebih ekstra. Belajar dari pengalaman AS, pengawasan yang baik akan mencegah penyalahgunaan vape untuk narkoba.

Ketua Umum DPP Generasi Anti Narkoba Indonesia (GANI) Djody Prasetio Widyawan, menilai positif adanya tembakau alternatif. Menurutnya, itu memberikan pilihan merokok yang 'lebih baik' pagi yang susah berhenti merokok. "Kami harus bersama-sama pemerintah mencari regulasi yang jelas, jadi tidak terjadi penyimpangan," tuturnya.

Di Amerika Serikat, ratusan orang terserang penyakit paru misterius usai menggunakan vape. Penyebab pastinya masih terus diselidiki, sementara hingga kini dilaporkan sudah 5 tewas, diduga terkait penggunaan vape.

Sementara itu, peredaran rokok elektrik atau vape telah beredar luas di Indonesia. Berbagai jenisnya cukup mudah didapatkan oleh semua orang dari berbagai kalangan dan berbagai usia. Koalisi Nasional Masyarakat Sipil pun menyayangkan perizinan dan peredaran rokok elektrik di Indonesia tidak diatur oleh suatu peraturan yang tegas dari pemerintah seperti layaknya rokok konvensional. Sementara, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa bahaya rokok elektrik tidak berbeda jauh dengan rokok konvensional.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengaku tidak memiliki wewenang untuk mengatur soal perizinan dan peredaran rokok elektrik. Namun, bersama dengan berbagai kementerian dan beberapa lembaga terkait akan membuat regulasi soal permasalahan tersebut.

"Kewenangan yang diberikan kepada BPOM yaitu kewenangan pada rokok konvensional bukan terhadap vape," ujar Deputi Pengawasan Obat, Narkoba, Psikotropika, Prekusor dan Zat Adiktif BPOM, Rita Endang, Apt, MKes saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (6/9/2019) lalu.

"Namun demikian tentu BPOM tidak menutup mata terhadap lersoalan yang ada... Sudah melakukan FGD untuk bersama-sama mengatasi masalah ini. Dan saat ini masih draft policy paper kebijakan pemerintah," lanjutnya.

Rita mengungkapkan bahwa BPOM sudah mengambil beberapa sampel rokok elektrik untuk mengetahui bahan kandungan di dalamnya yang juga akan dikaji bersama. Regulasi soal permasalahan ini pun akan secepatnya diselesaikan oleh pemerintah.

Kota Besar Jadi Surga Pengguna Vape

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Generasi Anti Narkoba Indonesia (GANI) Djoddy Prasetio Widyawan mengatakan, kota-kota besar di Indonesia masih menjadi surga para pengguna narkoba melalui rokok elektrik atau vape.

"Jakarta merupakan daerah yang paling besar penggunaan narkoba melalui produk elektronik ini, Medan, Surabaya, Yogyakarta, dan Bali," kata Djoddy di Jakarta, Minggu, 8 September 2019.

Menurut dia, daerah-daerah ini yang nantinya fokus melakukan suatu kampanye terkait bahaya narkoba bersama-sama produsen rokok alternatif untuk menyampaikan agar hal-hal seperti itu tidak terjadi di masyarakat. "Banyak kota besar yang menjadi menyalahkan menggunakan narkoba. Harus kita pikirkan bersama supaya tidak terjadi di masyarakat," katanya.

Memang para penyalahgunaan narkoba melalui rokok vape ini kebanyakan dari kalangan usia yang masih produktif yakni 18-35 tahun. "Penyalahgunaan narkoba selalu mencari jalan bagaimana dia bisa mengkonsumsi narkoba dengan memanfaatkan produk yang jelas," ujarnya.

Selain itu, ia mendukung penggunaan produk tembakau alternatif khususnya produk tembakau yang dipanaskan untuk mengurangi angka perokok di Indonesia. Manfaat dari produk tembakau alternatif belum dimaksimalkan lantaran opini negatif terhadap salah satu produk tembakau alternatif yakni rokok elektrik yang rawan disalahgunakan untuk narkoba.

“Jadi tidak tepat bagi industri produk tembakau alternatif untuk disalahkan. Justru industri ini membantu untuk menekan jumlah perokok akut dengan menawarkan produk yang lebih rendah risiko,” kata Djoddy.

Djoddy menyarankan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk membuat regulasi khusus bagi produk tembakau alternatif yang terpisah dari rokok dan sesuai dengan profil risikonya. Dengan begitu akan meminimalkan penyalahgunaan. “Kami siap untuk dilibatkan pemerintah dan industri tembakau alternatif, khususnya produk tembakau yang dipanaskan untuk mencari solusi bagi masyarakat yang lebih baik,” kata dia.

Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR, Ariyo Bimmo menambahkan bahwa produk tembakau alternatif tidak bebas risiko sehingga tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil dan menyusui, anak di bawah umur atau nonperokok. "Pilihan yang terbaik adalah berhenti merokok tapi jika dirasa sulit maka dapat beralih ke produk tembakau alternatif. Berdasarkan penelitian, produk itu lebih rendah risiko daripada rokok.” kata Ariyo.***

dilansir dari berbagai sumber